Ini adalah sebuah catatan #latepost tentang sebuah kejadian kecil, tetapi menimbulkan penyesalan yang cukup mendalam bagiku.
—
Kala itu Oktober 2011 petang, sekitar jam 7an, aku dan seorang teman sedang hunting foto di sekitar Tugu Pahlawan Surabaya untuk mengikuti kontes fotografi bertema kepahlawanan.
Setelah sekian lama jeprat-jepret di sekitar Tugu Pahlawan, ada seseorang paruh baya mendekati kami. Pakaiannya lusuh, raut wajahnya lelah, hanya menenteng bungkusan kain yang entah apa isinya.
“Nak, boleh saya minta tolong?”
“Monggo pak. Ada apa?“, jawabku.
Lalu dia bercerita bahwa dia berasal dari sebuah kota di Jawa Tengah (aku lupa nama kotanya). Dia ke Surabaya karena dia menerima penawaran dari seseorang untuk bekerja di Tanjung Perak. Dia mau, karena dia butuh pekerjaan untuk menafkahi keluarganya.
Dari kediamannya, dia hanya berbekal sebuah alamat di sekitar Tanjung Perak, dan bekal uang yang hanya cukup untuk berangkat ke Surabaya. Dia berharap, di Tanjung Perak dia segera mendapatkan pekerjaan, sehingga dia dapat memberi nafkah kepada keluarganya di Jawa Tengah, atau setidaknya dia bisa kembali pulang.
Tapi harapan tinggallah harapan. Alamat di secarik kertas yang dia pegang hanyalah fiktif belaka. Dia tidak menemukan alamat yang dia cari, dan orang sekitar Tanjung Perak yang ditanyai tentang alamat itu pun mengatakan padanya bahwa alamat itu tidak ada.
Akhirnya, dia hanya bisa pasrah. Dia berharap bisa kembali pulang karena telah terkatung-katung beberapa hari di Surabaya tanpa hasil.
Kepadaku, dia menanyakan arah terminal, agar dia bisa menumpang truk atau kendaraan umum kembali ke Jawa Tengah. Aku tanya, “Bapak naik apa dari Tanjung Perak?“. Dia jawab, “Saya jalan kaki mas, bekal saya sudah habis. Cuma nggak tau arah terminal“.
Wah, dari Tanjung Perak mau jalan kaki ke terminal? Itu bisa sekitar 8km dari Tugu Pahlawan ke terminal Joyoboyo, dan 20km-an dari Tugu Pahlawan ke terminal Bungurasih! Dari Tanjung Perak ke Tugu Pahlawan aja sudah 4km.
Inginnya kuantarkan saja si bapak ke terminal. Hanya saja, aku berboncengan dengan temanku. Kalau aku bawa si bapak berboncengan, bagaimana dengan temanku? Lagian, jeprat-jepretku belum selesai. Belakangan kusadari kalau pemikiranku ini sangat egois.. >.<
Aku keluarkan dompet, kulihat isinya. Ada selembar 50rb-an dan selembar 5rb-an. Bensin motorku habis, dan sepertinya seliter bensin nggak cukup nih buat pulang ke rumah. Jadilah kuputuskan untuk mengeluarkan selembar 5rb dan aku berikan ke bapak itu. Sebuah keputusan yang belakangan kusesali.
“Bapak naik angkot saja ya. Terminal jauh sekali pak kalau jalan kaki“, kataku sambil menyodorkan lipatan uang 5rb tersebut ke tangan si bapak.
“Aduh mas, ini apa? Nggak usah. Saya cuma tanya arah ke terminal aja“, Kata si bapak sambil memegangi tanganku & berusaha mengembalikan uang tersebut.
“Ndakpapa pak, ambil aja. Dari sini ke terminal jauh pak. Bapak bisa naik angkot yang ke terminal Joyoboyo atau Bungurasih“, jawabku sambil memastikan kalau uangnya tetap ada di genggamannya.
Mata si bapak agak berkaca-kaca, “Makasih banyak ya mas, semoga Allah melancarkan rejekinya mas.”
“Iya pak, amiiin, sama-sama. Bapak jalan aja ke sana (sambil menunjuk sebuah tikungan), nanti kalau ada angkot berhenti, tanyakan aja apakah ke terminal atau nggak. Kalau ke terminal, bapak naik aja“. Kebetulan aku nggak paham rute angkot di Surabaya. Jadi nggak tau mana angkot yang ke terminal Joyoboyo/Bungurasih, mana yang tidak.
Si bapak mengangguk, berterimakasih sekali lagi, kemudian meninggalkan kami.
—
Setelah jeprat-jepret sampai malam, kami pulang. Di rumah, aku ceritakan kejadian tadi ke ayah. Tanggapan ayah inilah yang membuatku menyesal.
“Le, kalau bershodaqoh itu yang total, jangan setengah-setengah seperti itu. Sebetulnya itu kesempatan yang diberikan Allah kepadamu. Jarang-jarang ada kesempatan seperti itu. Ayah aja jarang menemui kesempatan seperti itu…”
“Mestinya, yang kamu serahkan ke bapak itu tadi ya yang 50rb. Atau kamu serahkan semua gpp. Masalah bensin, kalaupun kamu kehabisan bensin di jalan, telepon ayah. Ayah jemput…”
“Mestinya kamu serahkan yang 50rb. Kalau kamu nggak bisa antar si bapak naik motor, kamu antarkan si bapak ke angkot yang tepat, lalu kamu kasih tau ke sopirnya kalau bapak ini mau ke terminal biar si bapak benar-benar sampai terminal.”
“Kalau kamu tadi seperti itu, total, wah, bisa bener-bener besar balasan dari Allah untuk kamu…”
—
Ah, benar juga yang dikatakan ayah..
Akhirnya, 2 tahun berlalu pun masih kusesali, kenapa bukan 50rb yang dulu ku’investasi’kan?
Dan hingga kini pun masih sering memikirkan nasib si bapak, “gimana nasib si bapak ya? apakah dulu benar-benar sampai di terminal? gimana si bapak pulangnya ke Jawa Tengah ya?”